Rabu, 13 Februari 2013

Tinjauan Kriminologis Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri (makalah kriminologi)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Main hakim sendiri merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena melakukan suatu kejahatan. Orang yang melakukan suatu tindak pidana dinamakan penjahat (criminal) merupakan objek kriminologi terutama dalam pembicaraan ini tentang etiologi kriminal yang menganalisis sebab-sebab berbuat jahat. Main hakim sendiri terjadi karena keretakan hubungan antara penjahat dan korban yang tidak segera dipecahkan atau apabila telah dipecahkan dengan hasil yang dirasakan tidak adil bagi korban atau keluarga korban sehingga tidak dapat mengembalikan hubungan baik antara pembuat korban dan korban dan/atau keluarga korban. Karena korban dan/atau korban merasa kepentingannya dan hak-haknya diinjak-injak bahkan dihancurkan oleh pembuat korban maka korban berkewajiban untuk mempertahankan kepentingannya dan hak-haknya terhadap korban secara langsung.
Korban dan/atau keluarga korban atau masyarakat dalam mempertahankan kepentingan dan hak-haknya untuk mengambil kembali harta benda miliknya dari pembuat korban secara langsung dengan jalan kekerasan bahkan mungkin lebih keras dan lebih kejam daripada cara yang digunakan oleh pembuat korban untuk mengambil hak milik korban. Apabila terjadi demikian maka berarti terdapat pergeseran yang semula merupakan korban berubah menjadi pembuat korban dan sebaliknya yang semula pembuat korban menjadi korban. Bilamana terjadi siklus yang demikian terus menerus maka anggota masyarakat selalu durinsung keresahan dan ketakutan. Oleh karena itu perlu segera mendapat perhatian dan solusinya. Solusinya yang dirasakan adil oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Adanya kasus main hakim sendiri dalam masyarakat, misalnya seorang mencuri ayam, anjing maupun pencopet yang dikeroyok masyarakat hingga luka-luka bahkan meninggal dunia dinilai merupakan cermin hippermoralitas yang terjadi di masyarakat.
Lebih lanjut Nawari menguraikan hippermoralitas merupakan suatu keadaan atau situasi dimana anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk. “ Yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek. Semua serba abu-abu,” urainya.
Demikian disampaikan Dosen Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Nawari Ismail, M.Ag. dalam diskusi terbatas ‘Cerminan Hippermoralitas dalam Masyarakat’ Selasa (24/5-2012) siang di Kampus Terpadu UMY.
Hal itu membuat masyarakat yang menghakimi pencuri, pencopet atau penjambret menjadi seolah-olah merupakan tindakan yang benar. “Padahal memukul hingga luka parah bahkan meninggal secara hukum dan moral tetap saja salah,”jelasnya.
Sikap hippermoralitas tersebut terjadi sebagai akibat adanya sikap masyarakat yang tidak menjadikan hukum sebagai acuan. “Adanya sikap formalisme masyarakat terhadap aturan yang ada. Padahal kasus-kasus pencopetan dan sebagainya harusnya cukup hanya ditangkap kemudian diserahkan ke pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum. Bukan malah ditangani sendiri yang terkadang justru menghilangkan nyawa orang lain,” tegasnya.
Selain itu formalisme tersebut terjadi juga karena dampak reformasi yang sudah berlebihan. “Dimana orang menjadi bebas melakukan sesuatu. Aparat pemerintah yang semakin tidak berwibawa di kalangan masyarakat. Bahkan aturan yang ada menjadi tidak berfungsi. ” ujarnya.
Dalam penuturan Nawari, untuk mengantisipasi masalah tersebut, harus ada kerjasama antara tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. “Tokoh-tokoh masyarakat tersebut harus mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dalam hal apapun tidak diperbolehkan. Tindakan dalam menangani sesuatu tetap tidak diperbolehkan,” tegasnya.

1.2 Permasalahan
Ditinjau dari latar belakang diatas, masalah yang dapat dirumuskan adalah; 
1.      Bagaimana tinjauan kriminologis terhadap perbuatan main hakim sendiri?
2.      Mengapa  masyarakat kerap melakukan perbuatan main hakim sendiri, dan bagaimana penanggulangannya?






1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan:
Untuk mempelajari dan lebih memahami mengapa masyarakat  pada umumnya sering melakukan tindakan menghakimi apabila seseorang tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana.
Manfaat:
Agar mahasiswa lebih mengetahui sejauh mana pertanggungjawaban yang dilakukan oleh orang yang main hakim sendiri.










BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Kriminologis Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri
Dalam perkembangan hukum pidana, selanjutnya restitusi seluruhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat sehingga korban dan/atau keluarga korban tidak mendapat bagian sama sekali, karena terjadi perubahan pengertian kejahatan dari pelanggaran melawan individu menjadi pelanggaran melawan negara. Perbuatan tersebut sebagai awal perbedaan dan pemisahan antara kesalahan perdata (Tort) dan kesalahan pidana. Kesalahan perdata adalah hubungan antar pribadi termasuk hubungan antara kejahatan dan korbannya, sedangkan kesalahan pidana merupakan hubungan antara perbuatan jahat dan perbuatannya hal tersebut dikemukakan oleh Schafer.
Selanjutnya Schafer menambahkan pendapatnya bahwa dengan pandangan yang berubah itu maka korban kejahatan dikeluarkan dari pengertian hukum pidana. Karena hak korban untuk balas dendam telah diambil alih oleh negara maka seharusnya negara memegang teguh amanat yang dipercayakan kepada negara untuk membalas denda kepada pembuat kejahatan. Negara dalam melaksanakan amanat masyarakat korban telah diatur secara abstrak dan rinci dalam hukum pidana baik hukum pidana substansi maupun hukum pidana formal dengan asumsi bahwa pembuat kejahatan dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya sehingga masyarakat korban merasakan kepuasan atas dipidananya pembuat kejahatan. Misalnya Code Hammurabi yang dianggap peraturan paling kuno telah mengatur restitusi antara lain berisi suatu perintah kepada pembuat kejahatan membayar kembali kepada korban dan/atau keluarga korban sebanyak tiga puluh kali lipat dari jumlah kerugian yang diderita oleh korban. Hukum Musa kira-kira abad ke-13 Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang pencurian seerkor sapi jantan, pencurinya harus membayar lima kali dari jumlah kerugian korban pencurian. Hukum Romawi Kuno pada kira-kira abad ke-8 Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang perampokan, bahwa perampok harus membayar empat kali dari jumlah barang-barang yang dirampok dari korban. Perkembangan selanjutnya untuk menghindari balas dendam atau main hakim sendiri dengan formula “an eye for an eye and a tooth for a tooth”
Kaitannya dengan masalah restitusi, Karmen berpandapat bahwa di dalam masyarakat terdapat perbedaan kelas-kelas dengan tajam, oleh karena itu dapat dikatakan pelaksanaan restitusi hanya menguntungkan kelas lebih atas. Apabila dalam suatu kasus kejahatan pihak yang bersalah memiliki kekuasaan cukup maka untuk restitusi dari pihak kelas sosial lebih rendah sulit berhasil tuntutannya sesuai dengan haknya. Sebaliknya apabila yang bersalah kelas sosial lebih rendah daripada korbannya maka tuntutan restitusinya dapat dilaksanakan sesuai dengan haknya. Hal ini berarti restitusi berfungsi si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin.
Menurut pendapat Karmen bahwa akibat penyalahgunaan pembayaran restitusi tersebut maka pada abad ke-12 terjadi perubahan besar dalam menangani perkara kejahatan yang berakibat merugikan korban secara pribadi dan keluarganya. Perluasan kepentingan negara terhadap perkara kejahatan di topang oleh kelahiran konsep “tidak berguna lagi kejahatan dipertimbangkan sebagai kekejaman menyerang pribadi korban yang seharusnya dibalas oleh kekejaman juga”. Kemudian melahirkan konsep “tuntutan pidana denda guna memperbaiki keseimbangan masyarakat yang merupakan hak negara”. Konsep selanjutnya “melakukan kejahatan berarti melawan negara”. Konsekuensinya memberantas kejahatan menjadi kewajiban negara dan restitusi dengan nama pidana denda menjadi hak negara, dan penjahat tidak wajib membayar restitusi kepada korban .
Secara teoritik, konsep hukum pidana baru yang ditopang oleh dasar pembedaan antara hukum pidana dan hukum perdata mempunyai titik berat yang berbeda. Pembedaan titik berat dimaksudkan antara lain:

ü  Menurut Voigt,
Mendasarkan pada Law of the Twelve Tables memberdakan objek sanksinya yaitu perbuatan menyerang orang merupakan hukum pidana, sedang perbuatan menyerang harta benda merupakan hukum perdata.

ü  Menurut Kohler dan Ziebart,
Menegaskan bahwa hukum pidana berarti pembuat harus memberikan perbaikan kepada korban juga memberikan pembayaran uang kepada negara (Schafer).

ü  Menurut Mommsen,
Segala sesuatu yang ditentukan oleh negara merupakan hukum pidana dan secara moral wajib ditaati. Sanksi bersifat pembalasan merupakan hukum pidna dan sanksi bersifat perbaikan merupakan hukum perdata.
Pakar hukum pidana menganut teori klasik yaitu perbuatan jahat melawan negara merupakan hukum pidana, sedangkan tort adalah perlawanan terhadap hak-hak perseorangan merupakan hukum perdata. Sejalan dengan itu Schafer mengemukakan bahwa yang dimaksud kejahatan hanyalah perbuatan dan penjahatnya, tidak termasuk korbannya, karena hubungan antara korban dan kejahatan termasuk penjahatnya lebih bersifat perdata daripada pidana.
Masing-masing bidang hukum tumbuh berkembang sendiri mengenai peraturannya, adminitrasi peradilannya. Misalnya dalam hukum pidana ukuran pembuktian dibutuhkan lebih tinggi, karena itu berlaku adigum “suatu kesalahan pembuat kejahatan yang diragukan harus ditolak”. Kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan finansial perseorangan. Oleh karena itu apabila ternyata korban menderita suatu kerugian finansial perbuatan pidananya selesai. Dalam praktiknya tuntutan ganti rugi korban dalam proses hukum perdata selalu ditolak sehingga korban dan/atau keluarganya tidak pernah mendapat restitusi. Oleh karena itu korban dan keluarganya harus puas atas perbuatan kejahatan telah dijatuhi pidana oleh negara.
Perkembangan dan kemajuan kriminologi pada pertengahan abad keduapuluh dalam kepustakaan viktimologi ketidakseimbangan perlakuan terhadap pembuat kejahatan dan korbannya tidak sejalan dengan pandangan baru bahwa keadilan menghendaki keseimbangan perhatian dan perlakuan terhadap masnusia apapun status mereka dalam masyarakat yang beradab. Status manusia dalam hukum pidana baik sebagai pembuat kejahatan maupun sebagai korbannya tertutama mengenai hak dan kewajiban mereka masing-masing harus seimbang. Dalam hal ini Reiff menyarankan agar restitusi yang telah diambil alih oleh negara, wajar dikembalikan demi memuaskan rasa balas dendam korban.
Perubahan dan perkembangan pandangan masyarakat terhadap perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan kepada para korbannya pada awalnya muncul atas pengaruh kriminologi hubungan yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi antara pembuat dan korban, hal tersebut dikemukakan oleh Separovic. Para pakar kriminologi, penologi dan viktimologi seharusnya memberikan perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan korbannya dengan seimbang baik mengenai hak maupun kewajiban agar dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran sertanya dalam terjadinya kejahatan.
Menurut Iswanto hak dan kewajiban pembuat kejahatan dan korban memang berbeda, bahkan bertentangan. Salah satu pemecahan teoritik yaitu mengintegrasikan aspek kriminologi, aspek penologi dan aspek viktimologi. Pendapat Reiff menyatakan bahwa hukum pidana modern pada pertengahan kedua abad keduapuluh yang baru lalu bahwa asas pemidanaan harus menghilangkan sifat pembalasan, dan sebaliknya justru berkewajiban mempersiapkan pembuat kejahatan agar dapat menjadi warga masyarakat yang baik. Berbeda bagi korban kejahatan mengharapkan agar pidana bermanfaat langsung, mengembalikan dirinya seperti dalam kondisi sebelum menjadi korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para kriminolog dan viktimolog menghendaki agar suatu kejahatan dipertimbangkan dari aspek pembuat kejahatan dan aspek korban dengan seimbang. Apabila hukum pidana mengintroduksi pendapat tersebut maka masalah pokok hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum, pertanggungjawaban dalam hukum pidana, dan korban. Jadi hukum pidana bukan criminal-oriented, tetapi seharusnya criminal- victim oriented, sehingga hukum pidana mengkaji obyeknya dengan tepat, lengkap, dan kejahatan dapat dijelaskan lebih baik serta sesuai dengan realitas. Bilamana maksud ini memperoleh tanggapan baik dari pakar hukum pidana, maka hukum pidana akan lebih hidup dan segar atas jasa sumbangan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di luar disiplin hukum khususnya kriminologi dan viktimologi sehingga hukum pidana dirasakan adil oleh anggota masyarakat beradab.
Dikemukakan oleh Soebagjo dan Supriatna, hukum pidana yang sekarang berlaku belum mengatur secara seimbang antara pembuat kejahatan dan korban, sehingga mengakibatkan ketidakpuasan keadilan bagi anggota masyarakat terutama yang menjadi korban dan keluarganya, apabila dibiarkan dapat menggoncangkan masyarakat seperti yang sedang kita alami bersama. Hukum pidana yang demikian itu tidak akan mencapai perdamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.

2.2 Penannggulangan  Perbuatan Main Hakim Sendiri
Bahayanya ialah terjadinya akumulasi ketidaktaatan hukum dalam masyarakat hingga hukum seolah-olah tak berdaya. Warga akan cenderung menegakkan kebenarannya sendiri-sendiri (individualistik) tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih luas. Lebih ekstrim lagi, bisa terjadi apa yang pernah dikatakan oleh Hobbes, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Akan banyak muncul peristiwa main hakim sendiri, seperti membakar pencuri hidup-hidup, pembunuhan ramai-ramai oleh warga terhadap oknum yang disangka sebagai dukun santet, dan sebagainya. Bisa dipastikan bahwa kian banyaknya kasus yang ketahuan (tertangkap) merupakan pertanda perilaku negatip atau anti otoritas di masyarakat sudah kian meningkat. Dimana faktor materialisme dan konsumerisme bertindak sebagai katalisator. 
Seandainya hukum mampu menjangkau perilaku-perilaku jahat warga yang sebenarnya tetap dikategorikan sebagai kejahatan maka rumah tahanan dan penjara-penjara pun akan penuh. Oleh karena itu, hukum selama ini memang sudah sangat kompromistis. Kompromistis karena ketidakberdayaan penegak hukum itu sendiri dan kondisi warga yang memang cenderung bersemangat anti otoritas hukum, sebagai salah satu semangat di era post modernisme ini. Bukan lagi sekedar anti terhadap otoritas hukum melainkan juga anti atas otoritas lain yang semestinya lebih tinggi, yaitu otoritas Tuhan (nilai-nilai keagamaan). Disamping itu terjadi pula penentangan atas nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Ini berarti struktur peradaban kita semakin tidak jelas dan disertai dengan kian hilangnya “rasa malu” pada sebagian warga. 
Dalam rangka upaya represif aparat hukum memang diharapkan untuk lebih bertindak tegas terhadap segala pelanggaran hukum oleh warga, termasuk pelanggaran oleh aparat sendiri. Pelaku main hakim sendiri harus segera ditindak tegas guna mencegah terjadinya kejahatan penganiayaan. Pemerintah juga perlu mengambil tindakan tegas kepada kelompok-kelompok tertentu yang kerap melakukan tindakan main hakim sendiri.
Khusus dalam upaya preventif-lah peran agama dan pendidikan merupakan dua pilar yang sangat penting. Selain fungsi agama yang mempertobatkan manusia, agama juga memiliki posisi strategis dalam upaya meluruskan semangat yang menyimpang dalam masyarakat. Agama dan pendidikan harus mampu mengantisipasi benih-benih kejahatan dalam warga agar tidak berkembang menjadi suatu kejahatan nyata yang melanggar hukum negara. Dua pilar ini yang sebenarnya paling bertanggungjawab atas terhindarnya warga dari perbuatan tercela yang melanggar hukum.
Apabila nilai-nilai religiusitas, pendidikan dan nilai sosial budaya mampu menyadarkan masyarakat tentang makna hidup yang tidak hanya bergantung pada materi maka teori Thomas Aquino yang mengatakan, bahwa kemiskinan memberikan kesempatan untuk berbuat jahat, tidak selamanya lagi berlaku. Selain itu perlu pula diperhatikan bahwa lingkungan sosial yang tidak baik bisa membuat seseorang menjadi jahat, sedangkan lingkungan yang baik akan berakibat sebaliknya. Dalam hal ini, tugas kita bersama untuk mewujudkan suatu lingkungan sosial yang baik.
Berbagai masalah  mengenai main hakim sendiri dapat diatasi dengan berbagai tindakan antara lain adalah:
1.      Hukum dan peraturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan baik dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepribadian, jujur, tidak memihak, serta memiliki kemampuan.
2.      Peraturan perundang-undangan sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat mengahruskan.
3.      Sanksi yang diancamkan di dalam perundang-undangan haruslah sebanding dengan sifat perundang-undangan yang dilanggar.
4.      Lembaga hukum harus dibebaskan dari berbagai kekuasaan di luar kekuasaan yudikatif, utamanya kekuasaan eksekutif, dan
5.      Para pelaksana hukum harus menafsirkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tafsir yang dilakukan oleh aparat pelaksana hukum. Melalui tindakan-tindakan ini dan menentukan akar permasalahan timbulnya tindakan main hakim sendiri, diharapkan tindak kekerasan oleh massa dapat dihentikan.

Menurut Parsons (1971) terdapat beberapa masalah penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu:
1.      Masalah legitimasi, yang berkaitan daengan landasan bagi pentaatan kepada peraturan,
2.      Masalah interpretasi, yang menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subjek melalui proses penerapan peraturan,
3.      Masalah sanksi, berkaitan dengan penegasan sanksi-sanksi yang akan timbul apabila terdapat pentaatan atau pelanggaran peraturan, serta menegaskan siapa yang berhak menerapkan sanksi tersebut,
4.      Masalah yirisdiksi, yaitu berkaitan dengan penetapan garis kewenangan tentang siapa yang akan berhak menegakan norma-norma hukum dan apa saja yang akan diatur oleh norma hukum tersebut (perbuatan, orang, golongan dan peranan).
Keempat masalah ini menjadi amat penting, karena produk hukum yang berupa peraturan hukum harus memenuhi dan menjamin sara keadilan masyarakat.

Dalam banyak peristiwa main hakim sendiri, polisi memang sering dibuat repot. Tidak saja saat menghadapi amuk massa itu berlangsung, tapi menyangkut proses hukum atas pelanggaran yang sering terjadi. Sebab apapun alasannya, warga tidak dibenarkan melakukan kekerasan, penindasan apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain. Setiap kali terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga, polisi adalah aparat penegak hukum yang paling banyak direpotkan. Dalam banyak kejadian, warga baru melaporkan kejadiannya setelah korban babak belur bahkan tewas di tangan mereka. Amuk warga kembali mengingatkan. Masyarakat memelurkan kepastian penegakan hukum oleh aparat.
Jeritan dan permohonannya agar tidak dipukuli tidak dihiraukan, warga terus saja memukulinya. Aksi anarkis warga baru mereda setelah kemudian datang petugas. Namun tak urung, orang yang menjadi bulan-bulanan massa tersebut sudah bonyok bersimbah darah.
Petugas masih beruntung korban masih hidup, sehingga nyawa pria yang dipergoki sedang merampok inipun masih bisa diselamatkan. Namun tetap saja, kadang-kadang karena parahnya luka yang ia derita, di perjalanan ke rumah sakit nyawanya tak tertolong lagi. Polisi memang biasanya diberi laporan dan datang ke lokasi kejadian setelah warga berhasil melampiaskan amarah dan kekesalannya.

2.3 Faktor-Faktor Utama Dari Tindakan Main Hakim Sendiri
Kemajuan pebangunan yang dicapai oleh masyatrakat Indonesia saat ini secara umum dapat dikategorikan pada struktur masyarakat bentuk solidaritas organik. Dengan kemajuan ini tentunya norma hukum yang dianut lebih bersifat restritutif. Namun melihat perilaku nain hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penerapan hukum yang berlaku pada masyarakat yang memiliki karakteristik solidaritas mekanik. Ketidakselarasan antara kemajuan zaman dengan praktik pelaksanaan hukum ini selanjutnya dapat dikategorikan sebagai penyimpangan.
Seiring dengan jatuhnya kekuasaan orde baru, masyarakat kemudian merasa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, masyarakat kemudian mengadopsi dan meniru pola atau model penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Masyarakat telah belajar banyak dari kemampuan pemerintah orde baru dalam menggunakan kekuasaannya, yang selanjutnya dipraktikan dalam bentuk pengadilan jalanan. Tindakan main hakim sendiri ini merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan opini kepada pemerintah maupun kepada masyarakat lain secara lebih luas, guna menunjukkan kekuasaanya, meskipun tindakan tersebut disadari telah melanggar hukum.
Faktor penyebab utama dari tindakan Main Hakim Sendiri itu adalah:
a.       Supaya pelaku tidak melakukan perbuatan lagi (residivis) atau pelaku kejahatan yang pernah melakukan perbuatan serupa menjadi jera misalnya curanmor, jambret
b.      Masyarakat tidak lagi mempercayai upaya Hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian
c.       Karena ikut-ikutan saja, ketika melihat massa secara anarkhis dan membabi buta menghajar pelaku mereka ikut-ikutan.
d.      Perbuatan pidana itu sendiri sudah sangat meresahkan masyarakat.

Kendala-kendala yang dialami pihak Kepolisian dalam menanggulangi kejahatan Main Hakim Sendiri, antara lain adalah:
a.       Tidak adanya laporan mengenai tertangkapnya pelaku oleh massa.
b.      Tidak adanya laporan mengenai adanya tindakan Main Hakim Sendiri.
c.       Letak TKP yang jauh dari markas Kepolisian, khususnya di daerah yang sulit tranportasi
d.      Tidak ada masyarakat yang mau memberikan ketarangan (saksi) terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri.
e.       Ruang tahanan yang kurang memadai untuk tempat tahanan dalam perkara yang melibatkan massa.
f.       Minimnya anggota Kepolisian setingkat Polsek.

           
III 
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Main hakim sendiri merupakan pengejawantahan balas dendam yang turun temurun oleh korban dan/atau keluarga korban kepada pembuat korban. Guna menghentikan balas dendam yang turun temurun tersebut maka kepala kelompok/komune/masyarakat sederhana yang anggota kelompoknya tersebut jahat mengumpulkan harta benda milik anggota masyarakat untuk memperbaiki atau mengganti rugi kerusakan atau penderitaan anggota kelompok masyarakat yang menjadi korban. Harta benda sebagai ganti kerugian oleh masyarakat yang berbuat jahat disebut restitusi digunakan untuk kepentingan korban dan/atau keluarganya serta untuk kepentingan masyarakat atau kepala kelompok.

3.1 Saran
ü  Hendaknya masyarakat menyadari bahwa tindakan Main Hakim Sendiri, sesungguhnya adalah merupakan tindakan kejahatan, sehingga diharapkan masyarakat agar sadar dan tidak segan-segan untuk melaporkan tindakan kejahatan Main Hakim Sendiri kepada Petugas Kepolisian, jika terjadi kasus tersebut.
ü  Untuk menghindari rasa takut agar segera masyarakat untuk melaporkan kasus Main Hakim Sendiri, kepada Petugas Kepolisian, dan hendaknya pihak Kepolisian memberikan perlindungan serta jaminan kepada si pelapor.
ü  Dalam rangka memperlancar proses penyidikan terutama penahanan para tersangka, hendaknya kepolisian memperhatikan pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana penunjang seperti perluasan ruang tanahan sehingga dapat menampung tahanan dalam jumlah yang besar.














DAFTAR PUSTAKA
            Hanafi, Sukwan. 2012. Fonemena Main Hakim Sendiri. Berita Indosiar Live Streaming.
            Simanjuntak, Agustinus. 2009. Kejahatan dan penanggulangannya. artikel http://www.glorianet.org/index.php/augus/107--kejahatan. (diakses pada tanggal 23 mei 2012).
            Rahman Hakim , Arfah. 2006. Tinjauan Yuridis Sosiologis Terhadap Kasus Main Hakim Sendiri.TERHADAP_KASUS_MAIN_HAKIM_SENDIRI_(Pembunuhan_Oleh_Massa_Terhadap_Pelaku_Curanmor_Di_Wilayah_Hukum_Polsek_Bululawang_Dan_Polsek_Singosari) (diakses pada tanggal 24 mei 2012)
Sumber-sumber lain:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar